Selasa, 03 November 2015

Bisikan Lembah : SUPIYAH


Oleh: Rahmat S. Lorandong

Hal  ganjil dalam hidup saya adalah sumur, Bapak dan Ibu. Ketiga hal itu mempunyai kesamaan, sama- sama mengerikan. Namun yang paling ganjil dari ketiganya adalah ibu saya, kadang ia seperti setan laki-laki. Kadang kelembutannya seperti Tuhan Yang Lain.
Sumur, Bapak dan Ibu pernah bersekongkol diam- diam dalam usaha membunuh saya andai saja seorang perawan tua yang tinggal di samping rumah saya tidak memukul tengkuk bapak dengan kayu bakar segenggaman tangan perempuan, sewaktu bapak mengayun-ayun saya dan menimang saya di atas mulut sumur, bisa dipastikan sejak usia tiga bulan saya sudah menjadi tuyul penghuni sumur.
Perempuan itu adalah sang messiah dalam hidup saya. Bagaimana tidak, karenanya saya bisa merasakan kehangatan dada ibu.  Sejak  ia  memukul tengkuk Bapak dengan kayu bakar segenggaman tangan perempuan, penyakit gila bapak  semakin parah hingga tidak bisa membedakan mana makanan yang harus dimasukkan lewat mulut dan mana makanan yang dikeluarkan lewat dubur, sejak peristiwa itu saya mempunyai perempuan yang saya panggil ibu. Kadang terlihat seperti setan laki-laki kadang seperti  perawan suci. Supiyah namanya.
Saya menetek ibu saya sampai  usia saya sepuluh tahun, sehingga sedikit banyak saya mewarisi sifat kemiripannya dengan setan laki-laki dan selama itu juga sebenarnya tak sepercik susupun keluar dari dadanya. Mata air itu telah lama mengering. Kalaupun ada mungkin itu keringat yang masih menempel di kulit tuanya sehabis pulang dari ladang jagung. Meskipun tua, rambut ibu tidak memutih tapi memerah, kadang juga terihat merah kecoklatan atau coklat kemerahan seperti rambut jagung. Hampir-hampir saya tidak bisa membedakan mana rambut jagung dan mana rambut ibu.
Dari supiyah saya mendengar cerita tentang perempuan yang melahirkan saya, yang pergi ke bulan di hari ke tujuh setelah melahirkan saya. Tepat saat bulan sedang bundar-bundarnya. Perempuan itu sedang menimba air, tangannya hampir meraih ember yang telah penuh air sebelum  kayu bakar segenggaman tangan perempuan mencium tengkuknya. Bapak memukul tengkuk perempuan itu seperti memukul tengkuk kambing, kemudian perempuan itu terjun ke bulan yang sedang bundar-bundarnya di dasar sumur. Suara jatuhnya sulit dibedakan antara ember yang penuh air atau tubuh perempuan itu. Selang tiga bulan kurang tujuh hari, Supiyah memukul tengkuk babak seperti memukul tengkuk kambing dengan kayu bakar segenggaman tangan perempuan, tapi bapak tidak pergi ke bulan. Sejak itu bapak tidak pernah keluar rumah. Takut pada bulan. Bahkan tidak bisa membedakan mana bulan mana matahari. Bagi bapak keduanya terlihat sama dan sewaktu-waktu bisa memukul tengkuk Bapak dari belakang.
Saya sering melihat supiyah mengantar makanan untuk bapak setiap pagi dan sore. Suatu sore saya ingin sekali mengantarkan makanan itu untuk bapak namun supiyah melarang saya dan menakut- nakuti saya dengan cerita tentang sumur , Bapak dan Tuhan. Dan setiap mendengar cerita itu, serta merta  saya berlari ke kamar dan meringkuk di sudutnya. Disana saya merasa aman, sejak saya berhenti menetek perawan tua itu. Meskipun sebenarnya saya takut, barangkali Tuhan ada disana dan siap memukul tengkuk saya dari belakang seperti memukul tengkuk kambing dengan kayu bakar segenggaman tangan perempuan, kemudian saya mati di bawah gambar bulan yang saya gambar sendiri di dinding. Saya tidak tahu kapan tepatnya saya mulai menyukai bulan.
 ***
Di tengah gelap sehabis hujan saya mengendap-endap disamping rumah bapak. saya menemukan jendela dengan kisi-kisi hampir seluruhnya ditinggali rayap. Saya sapu titik-titik air bercampur debu pada kaca yang memburam. Hampir saja saya melihat tengkuk lelaki itu jika tidak saya rasakan sebuah benda keras mirip kayu bakar segenggaman tangan perempuan mencium tengkuk saya. Malam itu memang gelap tapi rasanya malam itu semakin gelap saja di mata saya.
***
Di pagi hari, saya bangun dengan tangan dan kaki terpasung. Di depan saya tersaji makanan pagi hari dan segelas air rebusan sere. Saya memang paling suka wedang sere. Supiyah sangat tahu itu. Itu bukan pertama kali saya di pasung. sebelumnya saya pernah dipasung meskipun hanya mengatainya dalam hati saya, Ibu berwajah seperti setan tua. Itulah salah satu ke serba tahuan Supiyah, jadi bukan tanpa alasan saya menyebutnya seperti tuhan yang lain. Saya juga pernah dipasung karena gambar bulan yang ada di dinding kamar saya. Saya anggap pasungan ini sebagai hukuman dari  tuhan setiap saya melakukan kesalahan dan biasanya hukuman itu selesai setelah sehari semalam. Selama masa hukuman, saya makan seperti hewan ternak. Bahkan sekarang saya bisa lebih terampil makan dengan cara itu dibanding hewan ternak manapun. Saya berhutang banyak pada ibu saya. Supiyah.
Biasa setelah saya menjalani hukuman Ibu memeluk saya dan menciumi saya dengan segenap rasa belas kasih. Saya merasakan kehangatan dadanya kembali seperti sejauh yang saya ingat, seperti yang menjadi ingatan pertama dalam hidup saya. Biasa setelah itu saya dimandikannya seperti bayi yang baru lahir , meskipun saat itu saya sudah berumur belasan tahun. Kata ibu , semua itu untuk ritual penyucian diri. Tradisi ini juga berlaku bagi Supiyah jika melakukan kesalahan. Saya yang menghukumnya, menyediakan makan, dan memandikannya seperti bayi yang baru lahir.
Senja keempat puluh saya masih terpasung. Ibu merontokkan biji-biji jagung dari tulangnya, suara jatuhnya gaduh seperti  hujan. Diantara dinding kayu yang menyekat kami, aku memulai percakapan.
“ibu … , sudah 40 hari saya di pasungan. Selama itu juga saya makan seperti ternak.”
“nanti malam hukumanmu selesai. Itu karena dosa besarmu. Melihat tengkuk ayahmu.” Suaranya berwibawa seperti firman yang diwahyukan bersama suara yang menyerupai hujan.
“ibu seperti seperti setan laki-laki. Dan saya melihat lebih banyak lagi setan- setan dibelakang ibu, semuanya berbaris sperti prajurit perang, semuanya berjenis kelamin laki-laki.” Suara-suara yang jatuh seperti hujan seketika berhenti. Kemudian suara petir keluar dari mulut ibu.
“hukumanmu ditambah empat puluh hari karena berani melawan tuhan.”
“ibu lebih mirip seperti para laki-laki lemah. Mereka suka mengancam atas nama Tuhan. Mereka bersembunyi dibalik nama Tuhan karena kelemahannya. Apakah ibu ingin seperti laki-laki?”
“cuih. Jaga ucapanmu. Apa matamu tak melihat? Semua laki-laki di kampung ini hidup dalam pasungan. Setiap hari aku memberi makan mereka semua, memberi mereka birahi yang tak pernah mereka dapatkan lagi dari istri-itrinya yang pergi ke bulan dan tak pernah kembali. lalu siapa yang jantan dan siapa yang betina disini? Hahaha.”
“puji Tuhan yang selalu mengasihi hambanya.”
“nah begitu ,panjatkan puja-puji kepada Tuhanmu, maka ia akan senang. Hahaha.” kata-kata itu diucapkanya dengan lantang, berulang-ulang. Ia keluar rumah, memutus percakapan kami. Berkeliling kampung. Tapi saya masih mendengar kalimat yang sama. “nah, begitu, panjatkan puja-puji kepada Tuhanmu, maka ia akan senang”. Suara  itu masuk lewat celah-celah atap rumah kami. Barangkali ia terbang mengelilingi kampung. Tak henti-henti, suara itu masih memenuhi langit dan hilang kedalam lubang bumi, lalu lamat-lamat menghilang dan tak terdengar lagi di telinga saya, entah karena saya mengantuk dan tertidur atau supiyah pergi meninggalkan kami dalam pasungan.
Pagi hari saya bangun dan didepan saya sudah tersaji aneka macam hidangan, baik makanan maupun minuman, yang belum pernah saya temui seumur hidup saya. barangkali perjamuan dari langit. Begitu seterusnya hidangan itu tersaji setiap kali saya bangun pagi tapi saya tidak pernah melihat Supiyah lagi sejak malam itu. SepertinyaTuhan sengaja membiarkan semua laki-laki dalam pasungan, dan mengirim semua perempuan ke bulan, lalu menggantinya dengan makanan dan minuman. Saya pernah mendengar bahwa laki-laki menikah dengan perempuan hanya kerena ingin dilayani ketika makan. Bukankah itu setimpal.

Yogyakarya, 16 oktober 2015.











Senin, 29 Oktober 2012

Pembekuan Kreatif Marah

Oleh : Elex.S.W

       Dalam kehidupan sosial kita terlalu banyak kejahatan sosial baik yang disadari maupun tanpa kesadaran pelaku.Begitu miris ketika kejahatan sosial yang dilakukan oleh pelaku yang notabennya sebagai orang tua  pada anaknya sendiri.Padahal pelaku selalu bilang bahwa dia menyayangi anaknya,baik paa orang lain ataupun pada anaknya sendiri,akan tetapi pelaku tersebut membekukan kreatif anaknya,apa iya pemampatan atau pembekuan kreatif itu merupakan rasa sayang?.Begitu banyak kejahatan sosial salah satunya pembekuan kreatif,kali ini saya akan sedikit mengulas pembekuan kreatif dalam marah.
             Bagaimana kita akan kreatif untuk marah atau kreatif mengungkapkan rasa marah itu sendiri?,sejak kecil kita selalu dilarang marah,katanya;"marah itu dosa,marah itu tidak baik,marah itu dilarang".Apakah saat kita ditindas kita tidak boleh marah?,saat kita dicurangi,disakiti,dihianati?,kalau memang marah itu perlu kita lakukan dan mempunyai landasan yang kuat kenapa tidak..Akhirnya setiap saat kita akan marah selalu dihentikan,lantas apakah mungkin kita melakukan ekplorasi marah atau mencari pengungkapan marah yang lain,yang lebih berkualitas mungkin,atau lebih indah,lebih elegan?.Kemudian kita menjadi bodoh,menjadi terbatas dalam mengungkapkan marah itu sendiri.Pengungkapan marah kita selalu seperti itu-itu saja,lantas kita juga menjadi gagap membaca ungkapan marah orang lain yang mengungkapkannya berbeda dengan kita.Kecenderungan orang mengungkapkan marah dengan berkata keras atau berteriak,memukul atau menghancurkan sesuatu,marah seperti ini tentu saja tidah indah menurut saya,tidak kreatif,monoton,dan berselera rendah.
             Padahal kita bisa mengungkapkan rasa marah dengan bermacam cara,kita bisa marah dengan tersenyum,kita bisa marah dengan karya,kita bisa marah dengan diam dan sebagainya.Persoalannya kemampuan dalam berekspresi kita sampai dimana?,apakah kita sering mempelajarinya?.Setelah itu siapa yang kita hadapi dan bagaimana kita menyampaikan marah itu sendiri.
            Seperti hal diatas yang saya katakan,bahwa kita begitu beku dalam berkreatif marah.Saat kita minim memiliki cara dalam mengungkapkan marah secara otomatis kita juga miskin atau terbatas kemampuan membaca bahasa marah orang lain,kemudian kita tidak tahu saat orang lain marah pada kita,dan kita menjadi sering menyakiti orang lain dengan membuatnya marah,itu artinya kita gagap dalam bersosial.

Lain kali saya teruskan.......