Oleh: Rahmat S. Lorandong
Hal
ganjil dalam hidup saya adalah sumur, Bapak dan Ibu. Ketiga hal itu
mempunyai kesamaan, sama- sama mengerikan. Namun yang paling ganjil dari
ketiganya adalah ibu saya, kadang ia seperti setan laki-laki. Kadang kelembutannya
seperti Tuhan Yang Lain.
Sumur, Bapak dan Ibu pernah bersekongkol
diam- diam dalam usaha membunuh saya andai saja seorang perawan tua yang
tinggal di samping rumah saya tidak memukul tengkuk bapak dengan kayu bakar
segenggaman tangan perempuan, sewaktu bapak mengayun-ayun saya dan menimang
saya di atas mulut sumur, bisa dipastikan sejak usia tiga bulan saya sudah
menjadi tuyul penghuni sumur.
Perempuan itu adalah sang messiah
dalam hidup saya. Bagaimana tidak, karenanya saya bisa merasakan kehangatan dada
ibu. Sejak ia memukul tengkuk Bapak dengan kayu bakar
segenggaman tangan perempuan, penyakit gila bapak semakin parah hingga tidak bisa membedakan
mana makanan yang harus dimasukkan lewat mulut dan mana makanan yang dikeluarkan
lewat dubur, sejak peristiwa itu saya mempunyai perempuan yang saya panggil
ibu. Kadang terlihat seperti setan laki-laki kadang seperti perawan suci. Supiyah namanya.
Saya menetek ibu saya sampai usia saya sepuluh tahun, sehingga sedikit
banyak saya mewarisi sifat kemiripannya dengan setan laki-laki dan selama itu
juga sebenarnya tak sepercik susupun keluar dari dadanya. Mata air itu telah
lama mengering. Kalaupun ada mungkin itu keringat yang masih menempel di kulit
tuanya sehabis pulang dari ladang jagung. Meskipun tua, rambut ibu tidak
memutih tapi memerah, kadang juga terihat merah kecoklatan atau coklat
kemerahan seperti rambut jagung. Hampir-hampir saya tidak bisa membedakan mana
rambut jagung dan mana rambut ibu.
Dari supiyah saya mendengar cerita
tentang perempuan yang melahirkan saya, yang pergi ke bulan di hari ke tujuh
setelah melahirkan saya. Tepat saat bulan sedang bundar-bundarnya. Perempuan
itu sedang menimba air, tangannya hampir meraih ember yang telah penuh air
sebelum kayu bakar segenggaman tangan
perempuan mencium tengkuknya. Bapak memukul tengkuk perempuan itu seperti
memukul tengkuk kambing, kemudian perempuan itu terjun ke bulan yang sedang
bundar-bundarnya di dasar sumur. Suara jatuhnya sulit dibedakan antara ember
yang penuh air atau tubuh perempuan itu. Selang tiga bulan kurang tujuh hari, Supiyah
memukul tengkuk babak seperti memukul tengkuk kambing dengan kayu bakar
segenggaman tangan perempuan, tapi bapak tidak pergi ke bulan. Sejak itu bapak
tidak pernah keluar rumah. Takut pada bulan. Bahkan tidak bisa membedakan mana
bulan mana matahari. Bagi bapak keduanya terlihat sama dan sewaktu-waktu bisa
memukul tengkuk Bapak dari belakang.
Saya sering melihat supiyah
mengantar makanan untuk bapak setiap pagi dan sore. Suatu sore saya ingin sekali
mengantarkan makanan itu untuk bapak namun supiyah melarang saya dan menakut-
nakuti saya dengan cerita tentang sumur , Bapak dan Tuhan. Dan setiap mendengar
cerita itu, serta merta saya berlari ke
kamar dan meringkuk di sudutnya. Disana saya merasa aman, sejak saya berhenti
menetek perawan tua itu. Meskipun sebenarnya saya takut, barangkali Tuhan ada
disana dan siap memukul tengkuk saya dari belakang seperti memukul tengkuk
kambing dengan kayu bakar segenggaman tangan perempuan, kemudian saya mati di
bawah gambar bulan yang saya gambar sendiri di dinding. Saya tidak tahu kapan
tepatnya saya mulai menyukai bulan.
***
Di tengah gelap sehabis hujan saya
mengendap-endap disamping rumah bapak. saya menemukan jendela dengan kisi-kisi
hampir seluruhnya ditinggali rayap. Saya sapu titik-titik air bercampur debu
pada kaca yang memburam. Hampir saja saya melihat tengkuk lelaki itu jika tidak
saya rasakan sebuah benda keras mirip kayu bakar segenggaman tangan perempuan mencium
tengkuk saya. Malam itu memang gelap tapi rasanya malam itu semakin gelap saja
di mata saya.
***
Di pagi hari, saya bangun dengan
tangan dan kaki terpasung. Di depan saya tersaji makanan pagi hari dan segelas
air rebusan sere. Saya memang paling suka wedang sere. Supiyah sangat
tahu itu. Itu bukan pertama kali saya di pasung. sebelumnya saya pernah
dipasung meskipun hanya mengatainya dalam hati saya, Ibu berwajah seperti
setan tua. Itulah salah satu ke serba tahuan Supiyah, jadi bukan tanpa
alasan saya menyebutnya seperti tuhan yang lain. Saya juga pernah
dipasung karena gambar bulan yang ada di dinding kamar saya. Saya anggap
pasungan ini sebagai hukuman dari tuhan
setiap saya melakukan kesalahan dan biasanya hukuman itu selesai setelah sehari
semalam. Selama masa hukuman, saya makan seperti hewan ternak. Bahkan sekarang
saya bisa lebih terampil makan dengan cara itu dibanding hewan ternak manapun.
Saya berhutang banyak pada ibu saya. Supiyah.
Biasa setelah saya menjalani
hukuman Ibu memeluk saya dan menciumi saya dengan segenap rasa belas kasih.
Saya merasakan kehangatan dadanya kembali seperti sejauh yang saya ingat,
seperti yang menjadi ingatan pertama dalam hidup saya. Biasa setelah itu saya
dimandikannya seperti bayi yang baru lahir , meskipun saat itu saya sudah
berumur belasan tahun. Kata ibu , semua itu untuk ritual penyucian diri.
Tradisi ini juga berlaku bagi Supiyah jika melakukan kesalahan. Saya yang
menghukumnya, menyediakan makan, dan memandikannya seperti bayi yang baru
lahir.
Senja keempat puluh saya masih
terpasung. Ibu merontokkan biji-biji jagung dari tulangnya, suara jatuhnya
gaduh seperti hujan. Diantara dinding
kayu yang menyekat kami, aku memulai percakapan.
“ibu … , sudah 40 hari saya di
pasungan. Selama itu juga saya makan seperti ternak.”
“nanti malam hukumanmu selesai. Itu
karena dosa besarmu. Melihat tengkuk ayahmu.” Suaranya berwibawa seperti firman
yang diwahyukan bersama suara yang menyerupai hujan.
“ibu seperti seperti setan
laki-laki. Dan saya melihat lebih banyak lagi setan- setan dibelakang ibu,
semuanya berbaris sperti prajurit perang, semuanya berjenis kelamin laki-laki.”
Suara-suara yang jatuh seperti hujan seketika berhenti. Kemudian suara petir
keluar dari mulut ibu.
“hukumanmu ditambah empat puluh
hari karena berani melawan tuhan.”
“ibu lebih mirip seperti para
laki-laki lemah. Mereka suka mengancam atas nama Tuhan. Mereka bersembunyi
dibalik nama Tuhan karena kelemahannya. Apakah ibu ingin seperti laki-laki?”
“cuih. Jaga ucapanmu. Apa matamu
tak melihat? Semua laki-laki di kampung ini hidup dalam pasungan. Setiap hari
aku memberi makan mereka semua, memberi mereka birahi yang tak pernah mereka
dapatkan lagi dari istri-itrinya yang pergi ke bulan dan tak pernah kembali.
lalu siapa yang jantan dan siapa yang betina disini? Hahaha.”
“puji Tuhan yang selalu mengasihi
hambanya.”
“nah begitu ,panjatkan puja-puji
kepada Tuhanmu, maka ia akan senang. Hahaha.” kata-kata itu diucapkanya dengan
lantang, berulang-ulang. Ia keluar rumah, memutus percakapan kami. Berkeliling
kampung. Tapi saya masih mendengar kalimat yang sama. “nah, begitu, panjatkan
puja-puji kepada Tuhanmu, maka ia akan senang”. Suara itu masuk lewat celah-celah atap rumah kami.
Barangkali ia terbang mengelilingi kampung. Tak henti-henti, suara itu masih
memenuhi langit dan hilang kedalam lubang bumi, lalu lamat-lamat menghilang dan
tak terdengar lagi di telinga saya, entah karena saya mengantuk dan tertidur
atau supiyah pergi meninggalkan kami dalam pasungan.
Pagi hari saya bangun dan didepan
saya sudah tersaji aneka macam hidangan, baik makanan maupun minuman, yang
belum pernah saya temui seumur hidup saya. barangkali perjamuan dari langit.
Begitu seterusnya hidangan itu tersaji setiap kali saya bangun pagi tapi saya
tidak pernah melihat Supiyah lagi sejak malam itu. SepertinyaTuhan sengaja
membiarkan semua laki-laki dalam pasungan, dan mengirim semua perempuan ke
bulan, lalu menggantinya dengan makanan dan minuman. Saya pernah mendengar
bahwa laki-laki menikah dengan perempuan hanya kerena ingin dilayani ketika
makan. Bukankah itu setimpal.
Yogyakarya, 16 oktober 2015.